Defisit BPJS dari Kelenaan Pemerintah?
Hafizah Afifah, Pinkhan Althania Varaditha, Putri Delfi
Alyphya
Fakultas Komunikasi dan Bahasa, Program Studi Hubungan
Masyarakat, Universitas Bina Sarana Informatika
Berawal dari PT.Askes
(Persero) yang ditunjuk sebagai penyelenggara program jaminan sosial dibidang
kesehatan. Hingga akhir masa jabatan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), 1 Januari
2014, PT.Askes (Persero) pun berubah menjadi BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan. Langkah menuju cakupan kesehatan
semesta-pun semakin nyata. (liputan6.com : 13 Desember 2013, “PT Askes Siap
Berubah Jadi BPJS Kesehatan”)
Memasuki periode kedua Joko
Widodo menjadi presiden Indonesia, masih saja negara kita terlilit masalah
keuangan. Terutama pada BPJS yang memiliki peran besar untuk menyejahterakan
rakyat Indonesia, sudah mengalami defisit yang sangat tinggi hingga mencapai
RP32T di BPJS Kesehatan. (cnbcindonesia.com : 7 Oktober 2019, “Wamenkeu Ungkap
Borok BPJS Kesehatan Hingga Defisit Rp32T”)
Kementerian Keuangan
berencana menaikkan iuran hingga menjadi 100 persen. Untuk Peserta Bukan
Penerima Upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja. “Kelas I yang awalnya Rp80.000
berubah menjadi Rp160.000, Kelas II dari Rp51.000 menjadi Rp110.000, dan Kelas
III dari Rp25.500 menjadi Rp42.000”. (kompas.com : 30 Oktober 2019, “Sah, Iuran
BPJS Kesehatan Naik 100 Persen Mulai 1 Januari 2020”)
Sebelumnya, rencana kenaikan
iuran BPJS ini tidak mencapai 100 persen. Ketua DJSN (Dewan Jaminan Sosial
Nasional), Tubagus Achmad Choesni, DJSN mengusulkan iuran peserta PBPU mandiri
Kelas I menjadi sebesar Rp120.000, Kelas II sebesar Rp75.000, dan Kelas III
sebesar Rp42.000. (djsn.go.id : 27 Agustus 2019, “DJSN Paparkan Usulan Kenaikan
Iuran BPJS Kesehatan ke DPR”). Tetapi hal ini ditolak oleh Menteri Keuangan
(Menkeu) pada masa periode pertama Jokowi, Sri Mulyani.
Peserta Non-PBI (Penerima
Bantuan Iuran) BPJS Kesehatan, merupakan anggota perusahaan yang sudah didaftarkan
dari instansi atau perusahaan di mana mereka bekerja. Sebagian iuran BPJS Kesehatan ini
dibayar oleh perusahaan, dan sebagian lagi dibayar oleh karyawan atau anggota
dari perusahaan tersebut.
Kenaikan BPJS Kesehatan
tersebut membuat masyarakat menjadi semakin terbebani, terutama bagi peserta
BPJS Kesehatan Non-PBI ini. Sehingga kebanyakan dari mereka berencana bahkan
sudah melakukan untuk berpindah kelas. Tetapi syarat untuk pindah kelas, dapat
dilakukan setelah satu tahun keanggotaan di BPJS Kesehatan, dan diikuti
perubahan kelas seluruh anggota keluarga.
Karena tidak semua anggota
perusahaan memiliki gaji yang sesuai kebutuhannya, maka jika memiliki anggota
keluarga yang banyak, berarti harus membayar iuran yang lebih banyak dari
sebelumnya. Hal ini bisa menjadi permasalahan baru.
Mulai dari defisit BPJS yang
begitu besar, harusnya sebisa mungkin tidak berdampak ke rakyat. Karena program
jaminan pemeliharaan kesehatan ini merupakan ranah urusan pemerintahan negara.
Bagi peserta BPJS yang rajin membayar iuran, kenaikan ini bisa dibilang ketidakwajaran
pemerintah dalam mengambil keputusan.
Menurut Agus Pambagyo selaku
pengamat kebijakan publik, sebenarnya defisit BPJS bisa saja ditutupi dari salah satu sumber
pendapatan negara kita, yaitu pajak rokok. Tetapi sampai saat ini belum ada
tindakan lanjut maupun keputusan dari pemerintah yang menjabat saat ini. Padahal pajak dari
perusahaan rokok memiliki angka pendapatan yang cukup lumayan banyak. (talkshow TV One : 9 Oktober 2019, ”BPJS
Kesehatan : Iuran Naik, Nunggak Disanksi”)
Permasalahan lainnya yaitu
adanya keinginan besar para Pekerja yang berencana menuntut perusahaannya,
untuk menaikkan upah kerja/gaji. Sehingga besar kemungkinan situasi di dunia
pekerja akan tidak kondusif dan membutuhkan keputusan yang bisa diterima para
pekerja.
Kebijakan kenaikan BPJS ini
seperti makan buah simalakama. Satu sisi, pemerintah menghendaki kenaikan premi
iuran perbulan, di sisi lain undang-undang pun membatasi waga negara untuk
mendapatkan penghasilan lebih dalam satu bulan.
Contohnya, pasal pengenaan
denda untuk gelandangan yang ada di revisi
RUU KUHP. Pasal ini ditujukan untuk para gelandangan yang berkeliaran di
jalanan, tetapi tujuan adanya pasal ini masih terlihat absurd bagi kami. Karena bisa juga para perempuan yang berada pada
malam hari di jalanan kena imbasnya.
Jika keputusan masih tetap menaikkan
iuran BPJS Kesehatan 100 persen, masalah baru lainnya adalah kemungkinan
peserta yang menunggak lebih besar dari sebelumnya. Defisit pun bisa terus
melonjak tajam.
Seharusnya jika memang ingin
menaiki iuran BPJS, dibuat dengan regulasi yang lebih tepat sasaran. Dengan
biaya sebelumnya saja banyak masyarakat yang menunggak iuran tersebut, apalagi
jika iuran tersebut dinaikkan. Hal tersebut perlu menjadi perhatian besar untuk
Kementerian Keuangan.
Namun, pada kenyataannya
iuran BPJS Kesehatan tidak pernah mengikuti usulan DJSN (Dewan Jaminan Sosial
Nasional) dan hanya sekali ditinjau ulang pada tahun 2016.
Sementara itu, berdasarkan
Pasal 38 Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, paling
lama setiap dua tahun sekali dilakukan peninjauan ulang besaran iuran.
Jika mengikuti peraturan
yang ada, maka skema iuran BPJS Kesehatan ini diperbaiki sejak tahun 2016. Hal
ini untuk menghindari potensi defisit anggaran. (kompas.com : 7 November 2019,
”Pemerintah Diminta Tak Bebankan Defisit BPJS Kesehatan Pada Publik”).
Komentar
Posting Komentar